Mono


Senin, 02 Maret 2009

Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”. Yang kedua meng­unggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata:

”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah”.

Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu contoh pandangan Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.

Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang dengan pendirian yang kukuh: Islam adalah ”sambungan—bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahimi.

Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”.

Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama me­rasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, walaupun orang lain itu, misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.

Dari mana datangnya kekerasan itu?

Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.

Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.

Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu menghendaki kesatuan tafsir.

Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka ”satu”—dan kita harus bebas dari the logic of the One.

Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar theologi itu menuding: ”Oneness, as a basic claim about God, simply does not make sense.” Dunia sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.

Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam ”multiplisitas”—yang tak sama artinya dengan ”banyak”. Kata itu, menurut dia, mencoba menamai cara melihat yang luwes, mampu menerima yang tak terduga tak ber­hingga.

Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, mene­gaskan ”multiplisitas” itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang jatuh tapi sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan benda-benda planet­er.

Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita. Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kembali?

Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilang­an Fu. Ada sebuah catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya: ”Kenapa monotheisme begitu tidak tahan pada perbedaan?” Dengan kata lain, ”anti-liyan”?

Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap ”anti-liyan” itu berpangkal pada ”bilang­an yang dijadikan me­tafora bagi inti falsafah masing-masing”. Monotheisme menekankan bilang­an ”satu”. Agama lain di Asia bertolak dari ke­tia­daan, kekosongan, sunyi, shunyat, shunya, se­­kaligus keutuhan. ”Konsep ini ada pada bilang­an nol,” kata Parang Jati.

Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab monotheisme ”dirumuskan sebelum bilangan nol dirumuskan”.

Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan, setelah bilangan nol ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang ”puitis”, ”metaforis” dan ”spiritual” dalam menafsirkan firman Tuhan. ”Ketika nol belum ditemukan,” tulis Parang Jati, ”sesungguhnya bilangan tidaklah hanya matematis.”

Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul bukan karena penemuan nol, melainkan ketika dan karena ”shunya menjadi bilangan nol”.

Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai ”the logic of the One”?

Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhis­me Indonesia, Badhe Dammasubho, menunjukkan bahwa kata ”esa” dalam asas ”Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sama dengan ”eka” yang berarti ”satu”. Esa berasal dari bahasa Pali, bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan ”nirbana”.

Setahu saya, ”nirbana” berarti ”tiada”. Bagi Tuhan, ada atau tak ada bukanlah persoalannya. Ia melampaui ”ada”, tak harus ”ada”, dan kita, mengikuti kata-kata Rasulullah, ”aku tidak tahu”.[]

Goenawan Mohamad

9 Komentar

Filed under Agama, Kliping, Opini

9 responses to “Mono

  1. SALMAN

    TERLALU GAMPANGAN…..

    artikel tersebut bohong jika kemudian menyimpulkan bahwa riwayat tersebut ,mengandung makna ajakan untuk boleh menjalankan
    syariát nabi-nabi sebelum Rasulullah Muhammad shalallahuálaihi wassalam. karena ketika islam datang, semua syariát sebelumnya sudah tidak dipakai..

    dalilnya diantaranya : bersambung….

  2. SALMAN

    Al-Qurán :

    Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih
    orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu,
    karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat
    Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Ali Imran [3]:
    19).

    Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan
    di akhirat dia termasuk orang yang rugi. (Ali Imran [3]: 85).

    Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
    cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu ……
    (Al-Maidah [5]:3).

    and many more….
    bersambung..

  3. SALMAN

    bagi pengikut agama lain yang menyangka Allah masih Ridho dengan kalian, :

    Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?(QS. At-Taubah : 30)

    Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [At Taubah : 30-31]

    Dengan demikian ayat tersebut menyatakan bahwa mereka itu adalah golongan musyrik. Pada beberapa ayat lain Allah menyatakan dengan tegas bahwa mereka itu kafir, sebagaimana ayat-ayat berikut.

    “Artinya : Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam”. [Al Maidah:17]

    “Artinya : Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga” [Al Maidah:73]

    “Artinya : Orang-orang kafir dari Bani Israel telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam” [Al Maidah : 78]

    “Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam..” [Al Bayyinah : 6]

    bersambung..

  4. rebelina

    aneh-aneh aja kajiannya…

    mas muq-shit juga bikin buku ya??

  5. rebelina

    Rasulullah tidak suka ketika ummatnya masih memakai taurat sebagai rujukan .Di antara sabda Rasulullah saw ketika beliau menjumpai Umar bin al-Khaththab membawa lembaran taurat:

    لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيْ
    “Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku.” (HR Ahmad dan al-Bazzar).

    jadi kalau muq-shit masih mengaku ummat muhammad, baek-baek lah…

  6. revolta

    emang yang nemuin bilangan nol siapa mas??

    Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Lahir di Khawarizmi, Uzbeikistan, pada 194 H/780 M. Kepandaian dan kecerdasannya mengantarkannya masuk ke lingkungan Dar al-Hukama (Rumah Kebijaksanaan), sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma’mun Ar-Rasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal.

    Dengan demikian, angka nol baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan al-Khawarizmi.
    Dari beberapa bukunya, al-Khawarizmi mewariskan beberapa istilah matematika yang masih banyak dipergunakan hingga kini. Seperti sinus, kosinus, tangen dan kotangen.

    sok sekali bahas angka padahal yang menemukannya ilmuan bertauhid!!!

  7. revolta

    SOK

    kajiannya sok ilmiah dengan meraba-raba sesuatu yang tidak terindera. dan mamaksakan hasil rabaannya menjadi fakta… Tuhan nol lah, tuhan apa lah..
    kayak ngutak atik dodol… ga ketemu-ketemu jawabannya malah membingunkan..

    lihat aja referensi “pemikiran”nya :
    PArang jati
    Laurel C. Schneider
    dll

    coba deh bandingkan dengan Muhammad SAW. pria jenius yang menerima wahyu yang salah satunya :

    “Katakanlah: Allah itu Satu

    Allah tempat meminta

    Dia tidak beranak dan tidak diperanakan

    Dan tak ada satu pun yang setara dengannya” [Al Ikhlas 1-4]

    bohong lagi..bohong lagi…
    ngibul lagi..ngibul lagi…

    payah!!!

  8. kepentingankepadarevolusi

    setelah tidak mampu mempertahankan argumen bahwa Tuhan boleh banyak (trinitas dll) untuk melegitimasi sinkretisme seperti dialog sebelum-sebelumnya, kayaknya orang orang kafir mulai ubah haluan dengan angka nol..

    setelah ini angka berapa lagi ya?

    mungkin pake pecahan ato bilangan desimal kali??

  9. SALMAN

    Undangan :

    bagi teman-teman yang pengen diskusi masalah keummatan, HTI NTB mengundang pada ahad pekan ke 4 tiap bulan di masjid dinas kimpraswil mataram jalan majapahit (barat taman budaya), pukul 9 pagi. kami tunggu partisipasi anda semua!!!

    buktikan kalo anda punya gigi!!!

Tinggalkan Balasan ke rebelina Batalkan balasan