Multikulturalisme kembar dan masalah Buddha Bar


Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir pernah dituduh menghina Islam karena menulis sejumlah buku yg mengajukan interpretasi yg berbeda dg kalangan ortodoks.
Sekarang, sebagian umat Buddha memprotes berdirinya restoran dg nama Buddha Bar karena mereka anggap hal itu melukai simbol agama Buddha.

Dua kasus di atas menyangkut tema yg sama: yaitu apa yg dipandang oleh umat agama masing-masing sebagai pelecehan atas agama (dalam konteks hukum modern, hal ini sering disebut sebagai “blasphemy”). Kedua kasus di atas tampaknya sama di permukaan, tetapi ada perbedaan fundamental antara kedua kasus itu. Saya kira kita, sebagai aktivis plularisme, harus menangkap perbedaan yg subtil antara kedua hal di atas. Kalau tidak, perjuangan kita akan kehilangan kredibilitas.

Kasus pertama menyangkut interpretasi atas agama, sementara kasus kedua berkaitan dg sebuah simbol yg secara jasadiah atau “physical” kasat mata. Tuduhan pelecehan agama pada kasus pertama sama sekali tidak bisa diterima, sebab perbedaan interpretasi tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk menuduh pihak tertentu sebagai melecehkan agama. Pada kasus kedua, tuduhan pelecehan agama bisa diterima, atau sekurang-kurangnya bisa dipertimbangkan.

Menurut saya, kita patut mempertimbangkan keberatan umat Islam seandainya ada seorang pengusaha mendirikan sebuah pub dengan nama “Muhammad Pub”. Saya sebagai Muslim bisa saja menganggap hal itu sebagai parodi yg lucu dan menyenangkan, tetapi jika ada sekelompok umat Islam yg tersinggung dg tindakan seperti itu, saya harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh keberatan itu.

Tetapi jika saya mengajukan interpretasi tertentu tentang suatu doktrin dalam Islam, misalnya doktrin kenabian, lalu ada kelompok lain dalam Islam menganggap interpretasi saya itu sebagai pelecehan atas Islam, maka saya akan menentang tuduhan itu.

Kita bisa saja mengatakan bahwa Yesus dilecehkan dg seenaknya saja di masyarakat Barat, dan tak menjadi masalah. Terhadap ini, saya akan mengatakan: kenapa masyarakat Barat harus menjadi standar dalam hal ini? Apakah mereka secara “ontologis” lebih baik ketimbang masyarakat lain? Kalau masyarakat Barat tak tersinggung saat Yesus dijadikan sebagai obyek parodi, itu urusan mereka sendiri.

Tetapi kalau ada masyarakat lain tidak bisa menerima apa yg mereka anggap sebagai pelecehan atas simbol agama mereka, kita patut mempertimbangkan keberatan semacam itu. Menurut saya, inilah tafsiran dan implikasi praktis dari filosofi multikurturalisme yg sekarang menjadi cara pandang baru yg mulai diterima di mana-mana.

Alfred Stepan, seorang komparativis atau ahli ilmu perbandingan politik dari Universitas Columbia, New York, pernah mengemukakan ide tentang “toleransi kembar” (twin toleration). Saya ingin mengembangkan lebih jauh ide Stepan ini dengan mengemukakan ide tantang “multikulturalisme kembar”. Apa yg saya maksud dg ide itu adalah dalam masyarakat yg plural, pengertian harus datang dari dua belah pihak sekaligus — dari pihak “dalam” agama sendiri, tetapi jg dari pihak di “luar” agama.

Pihak di dalam agama sendiri harus tahu bahwa mereka hidup dalam masyarakat yg beragam dengan konsekwensi yg kadang kurang menyenangkan buat mereka. Tetapi masyarakat di luar agama bersangkutan jg harus “sensitif” terhadap perasaan umat agama yg lain. Sikap yg dituntut dalam konteks “multikulturalisme kembar” ini sangat berbeda dg sikap yg berkembang dalam konteks wacana sekularisme. Dalam yg terakhir ini, sikap yg lebih menonjol adalah melihat agama dg curiga, bahkan kadang dg mata merendahkan. Sikap semacam ini memang tidak terlalu kuat di Amerika ketimbang di Eropa.

Tetapi sikap semacam ini saya kira kurang bisa diterima dalam konteks masyarakat non-Barat. Saya tak hendak melakukan generalisasi di sini, tetapi saya kira saya tidak meleset jika apa yg saya katakan itu mencerminkan sebuah kecenderungan umum.

Sikap ini saya tempuh karena saya sadar bahwa implikasi penting dari multikulturalisme bukan saja meminta umat beragama untuk mengerti dan menolerir terus pihak luar, tetapi jg pihak luar harus mengerti pula perasaan umat beragama.

Dengan mengatakan hal ini, saya tentu tak hendak mengatakan bahwa perasaan umat agama tertentu harus diangkat menjadi semacam “meta discourse” yg mengatasi hal-hal lain. Dengan kata lain, saya tentu tak hendak menjadikan perasaan umat agama tertentu sebagai norma tunggal untuk menilai aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat yg multikultural. Yg ingin saya katakan adalah bahwa dalam multikulturalisme dibutuhkan kedewasaan dari dua belah pihak sekaligus, dari pihak “dalam” dan “luar” sekaligus.

Dalam kasus Buddha Bar ini, kita patut mempertimbangkan perasaan umat Buddha. Sikap yg sama akan saya pakai jika, misalnya, suatu saat ada seseorang atau kelompok yg menginjak-injak Quran atau mendirikan sebuah karaoke dengan nama “Quran Karaoke”. Ini sekedar contoh saja.

Wallahu a’lam.

Ulil Abshar Abdalla

RESOURCE : Millis JIL

1 Komentar

Filed under Agama, Fundamentalis, Islam, Kliping

1 responses to “Multikulturalisme kembar dan masalah Buddha Bar

  1. buddha bar? tempatnya dugem orang budha?

Tinggalkan komentar